“Dominasi manusia terhadap alam berdasar pada dominasi yang nyata dari manusia yang nyata dari manusia terhadap sesama manusia” – Murray Bookchin.
Pembahasan RUU Omnibuslaw Cipta kerja semakin gencar untuk disahkan meskipun di awal kemunculannya mendapat respon yang negatif dan penolakan yang begitu masif dari berbagai elemen masyarakat, organisasi, mahasiswa, akademisi,buruh dan pakar lingkungan hidup. Pemerintah dan DPR seolah-olah mengabaikan kritik dan suara kebanyakan masyarakat untuk ikut aktif dalam membuat peraturan yang menyangkut khalayak masyarakat indonesia. Pemerintah dan DPR terus mempercepat pembahasan RUU Omnibuslaw meskipun dalam situasi pandemi virus corona atau covid-19, dimana semua orang dilarang berkumpul. Seharusnya Pemerintah dan DPR lebih fokus menangani dan mencegah penyebaran virus covid-19 yang semakin meluas penyebaran dan penularannya yang mencapai 300rb orang positif covid-19 di indonesia.

Apabila RUU Omnibuslaw ini disahkan banyak sektor yang terdampak terutama terhadap lingkungan. RUU Cipta Kerja sendiri ditetapkan untuk memangkas kurang lebih 70 UU dan 100 pasal terkait SDA (Sumber Daya Alam). perbandingan UU nomor 32 tahun 2009 dengan RUU Cipta Kerja, terutama beberapa pasal terkait regulasi perizinan lingkungan. beberapa kriteria usaha ideal dalam UU nomor 32 tahun 2009 tidak lagi dicantumkan dalam RUU Omnibus Law. Peraturan tersebut antara lain usaha tidak boleh merusak bentang alam, usaha tidak boleh melepaskan jasad renik yang merusak lingkungan, dan usaha tidak boleh menggunakan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Selain itu dalam RUU Omnibuslaw Cipta Kerja Menghilangkan fungsi pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). AMDAL tidak lagi dijadikan dasar penetapan, melainkan hanya sebagai dasar uji kelayakan. Jadi fungsi AMDAL ini terhapuskan dan tidak terlalu penting, karna yang lebih penting bagaimana investor bisa masuk dan mengeruk kekayaan alam kita tanpa perlu melihat dampak lingkungan untuk sekitarnya dan masa depan. RUU Omnibuslaw Cipta Kerja juga akan memberi hak istimewa untuk para investor untuk menguasai SDA kita dengan izin usaha yang lebih lama yaitu 20 tahun dan dapat di perpanjangan tanpa menyebutkan secara rinci. Ini memberi karpet merah untuk para investor terutama dalam sektor pertambangan dan energi mineral untuk mengeruk habis alam kita. Apalagi indonesia masi menggunakan energi kotor seperti batubara.

Selain itu masyarakat sipil dan organisasi pemerhati lingkungan hanya memiliki ruang yang makin sempit untuk melakukan gugatan atas kerusakan lingkungan dan ekosistem. Ini berarti masyarakat tidak bisa menolak jika ada pembangunan dan penggusuran di daerahnya. Terlebih lagi untuk pemerintah daerah tidak dapat terlibat dalam melakukan pengawasan dan penjatuhan sanksi bagi pelaku kerusakan lingkungan, dan lebih lanjutnya bagi pelaku usaha dihapuskan kewajibannya untuk memfasilitasi perkebunan masyarakat minimal 20%, serta memberikan keringanan sanksi bagi pelaku usaha yang telah melakukan perusakan lingkungan. Dari sini dapat dengan jelas kita melihat betapa negatifnya UU yang termuat dalam RUU Omnibuslaw Cipta Kerja ini, karena berdampak buruk pada masyarakat maupun ekologi yang ada di negara ini.
Penulis : Reza Arivianto (Pegiat Perpustakaan Jalanan Pandaan)